Iklan

Abu Darda: Sahabat yang Ahli Hikmah

28 September 2025, 11:39 WIB


Suluah.id - Pernahkah Anda membayangkan seorang pebisnis sukses yang rela meninggalkan dunia perdagangannya demi mengejar kebijaksanaan dan kedekatan dengan Tuhan? 

Kisah itu bukan dongeng, tapi nyata, dan nama tokohnya adalah Abu Darda – atau lengkapnya Uwaimir bin Zaid Al-Khazraji Al-Anshari. Sosok ini dikenal sebagai “ahli hikmah” di kalangan sahabat Nabi Muhammad ﷺ.

Dari Pebisnis Menjadi Ahli Ibadah


Sebelum mengenal Islam, Abu Darda adalah pedagang yang disegani di Yatsrib (kini Madinah). Hidupnya dipenuhi hitung-hitungan untung-rugi, layaknya pengusaha yang fokus pada angka penjualan. 

Namun, ketika hidayah Islam mengetuk hatinya, segalanya berubah. Ia sendiri mengaku, “Sebelum Islam, aku tidak menyembah Allah satu hari pun, dan tidak pernah melaksanakan satu shalat pun.”

Pengakuan itu bukan untuk mengumbar masa lalu, melainkan bukti betapa dramatis perjalanannya. Dari yang abai, ia menjadi sosok yang rindu shalat malam, haus ilmu siang hari, dan selalu mencari kedekatan dengan Allah.

Murid Kesayangan Nabi


Kedekatannya dengan Rasulullah ﷺ membuatnya dikenal sebagai salah satu sahabat yang paling bijak. 

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, Nabi bersabda:
“Sesungguhnya orang yang paling bijak di antara umatku adalah ‘Uwaimir Abu Darda.”
(HR. At-Tirmidzi)
Gelar “al-hakam” (orang bijak) yang diberikan Nabi tentu bukan sembarang gelar. 

Abu Darda bukan sekadar pintar berargumen, tetapi mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya, memahami hakikat peristiwa, dan membuat keputusan dengan hati yang jernih.

Dai dan Hakim di Bumi Syam


Perannya makin besar setelah wafatnya Nabi. Bersama pasukan Islam di bawah Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Abu Darda ikut membuka jalan Islam di Syam (Suriah, Lebanon, Yordania, Palestina sekarang). Namun, ia bukan hanya datang sebagai prajurit, melainkan juga dai, guru, dan mufti.

Damaskus yang kosmopolitan pada saat itu butuh sosok yang mengingatkan warganya akan nilai spiritual. Abu Darda-lah yang mengisi peran itu. Umar bin Khattab pun mengangkatnya sebagai qadi (hakim) di Damaskus — posisi penting pada masa awal pembangunan peradaban Islam.

Guru yang Mengerti Psikologi Murid


Abu Darda memiliki majelis ilmu yang terkenal. Setiap pagi setelah Subuh, ia dikelilingi murid-muridnya yang ingin belajar Al-Qur’an, hadits, dan fiqh.

Menariknya, ia bukan guru yang kaku. Ia peka terhadap suasana hati murid. Pernah ia berkata, “Hati ini memiliki masa semangat dan masa malas. Ambillah saat semangatnya, dan tinggalkan saat malasnya.”

Pesan ini terasa modern — seolah mengingatkan kita tentang pentingnya manajemen energi dan kesehatan mental.

Menolak “Hadiah” Penguasa


Meski menjadi hakim, Abu Darda hidup sangat sederhana. Ia menjaga jarak dari penguasa demi menjaga integritas. 

Ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan (gubernur Syam) mengirim hadiah berupa harta, Abu Darda justru membagikannya kepada fakir miskin sambil berkata, “Bagaimana mungkin aku menerima hadiah dari seseorang, sementara suatu hari nanti aku mungkin harus mengadilinya?

Sikap ini adalah teladan integritas yang relevan hingga kini. Di era ketika independensi hakim kerap dipertanyakan, sosok seperti Abu Darda adalah cermin yang mengingatkan pentingnya menjaga kebersihan hati dan keputusan.

Hikmah yang Abadi


Warisan Abu Darda bukan berupa istana atau harta, melainkan murid-murid yang menjadi ulama besar, seperti Fakihuddin Abu Idris Al-Khaulani. Dan yang tak kalah penting, nasihat-nasihatnya yang menembus zaman. 

Salah satunya:
“Berilmulah sebelum ilmu itu diangkat. Dan yang pertama kali diangkat dari ilmu ini adalah kekhusyukan, hingga hampir tidak ada seorang pun yang khusyuk.”

Pesan ini terasa relevan dengan kondisi hari ini, ketika ilmu mudah diakses, tetapi kekhusyukan dan ketulusan semakin jarang ditemukan.

Relevansi di Era Modern


Di tengah dunia yang bising oleh informasi, teladan Abu Darda adalah pengingat bahwa kebijaksanaan bukan sekadar tahu banyak hal, tetapi mampu menjaga hati tetap tenang. 

Ia menunjukkan bahwa membangun peradaban bukan hanya soal memperluas wilayah atau ekonomi, tetapi juga membangun karakter, moral, dan ruh masyarakat.

Bagi generasi sekarang, kisah Abu Darda adalah ajakan untuk tidak hanya menjadi “pintar”, tetapi juga “bijak”. Sebab, di balik setiap keputusan, ada nurani yang harus dijaga tetap jernih.(*) 
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Abu Darda: Sahabat yang Ahli Hikmah

Iklan