Iklan

Mengulas Tradisi Bakayu dan Mangampiang di Nagari Batipuh

11 Februari 2022, 15:56 WIB



Suluah.id -- Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini suatu tradisi dapat punah.

Masyarakat Minangkabau memiliki sebuah tradisi kematian, tradisi ini sudah menjadi bagian di dalam kehidupan seharihari masyarakat, karena telah diwariskan turun temurun oleh nenek moyang mereka kepada generasi berikutnya. 

Salah satu contoh masyarakat Minangkabau yang masih mempertahankan tradisi nenek moyang mereka adalah masyarakat Nagari Batipuah Ateh, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Pelaksanaan upacara kematian yang telah menjadi tradisi dan masih dipertahankan oleh masyarakat Nagari Batipuah Ateh adalah ”bakayu dan mangampiang”. 

Pada tradisi bakayu dan mangampiang ini ada aspek fisik dan sosial yang masyarakat lakukan. Aspek fisik yang dilakukan sebelum tradisi bakayu dan mangampiang dilaksanakan, masyarakat tentu akan beramai-ramai datang ke rumah duka untuk mencari informasi dan membantu persiapan acara pemakaman orang meninggal tersebut.


Bakayu dan Mangampiang adalah salah satu tradisi yang berasal dari Nagari Batipuah Ateh Kecamatan Batipuah Kabupaten Tanah Datar.  Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh golongan tua, bahkan mulai dibiasakan pada anak muda sehingga tradisi ini masih terus dipertahankan ditengah era yang modern ini. 

Makna Simbolik Tradisi Bakayu dan Mangampiang


Tradisi ini memiliki makna simbolik yang cukup istimewa. Tradisi Bakayu dan Mangampiang di Nagari Batipuah Ateh, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanah Datar ini menghadapi tantangan yang cukup berat di era moderen.

Secara makna simbolik, tradisi bakayu dan mangampiang terdapat makna denotasi, konotasi dan mitos. Makna kegiatan bakayu adalah sikap gotong royong. Kegiatan manyiriah rokok maknanya adalah saling bermaafan. Sedangkan makna kegiatan mangampiang adalah saling tolong menolong.





Tradisi ini dapat tercermin sikap duka cita dan bela sungkawa, sikap saling tolong menolong, mengasihi, menghormati, menjunjung serta mengingat jasa-jasa leluhur. 

Usaha untuk mempertahankan keberadaan tradisi ini dalam menghadapi tantangan di tengah era yang modern ini diantaranya adalah melalui Kerapatan Adat Nagari (KAN) Batipuah Ateh dan dari pihak kecamatan adalah pameran kebudayaan di tingkat kabupaten.

Upacara kematian di Nagari Batipuah Ateh merupakan upacara masyarakat yang dilakukan secara gotong royong. Mulai dari proses pemakaman, penyelenggaraan jenazah, serta penguburan jenazah. Masyarakat melakukan proses pemakaman di tanah pakuburan suku (pemakaman kaum berdasarkan suku bangsa). 

Rangkaian tradisi adat masyarakat setelah dilakukannya proses pemakaman jenazah, masyarakat pada malam harinya melakukan mangaji malam partamo (yasinan malam pertama). Pada keesokan pagi harinya, masyarakat datang kembali ke rumah keluarga untuk bakayu (bagi laki-laki) dan mangampiang (bagi perempuan). Masyarakat yang datang biasanya membawa beras yang bertujuan untuk meringankan beban dari keluarga duka. 





Pada malam harinya masyarakat terutama laki-laki datang untuk mangaji malam kaduo (yasinan malam kedua) di rumah duka. Keesokan malamnya di lanjutkan mangaji malam katigo (yasinan malam ke tiga). Biasanya pada malam ketiga ini yasinan lebih lama dan juga ada mendoa.

Rangkaian acara kematian selanjutnya adalah manujuah hari (memperingari 7 hari kematian), maampek puluah hari (40 hari kematian) dan terakhir maratuih hari (100 hari kematian).

Bakayu merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat laki-laki Jorong Subarang sehari setelah dilakukannya proses pemakaman jenazah. Dahulunya, proses bakayu dilakukan di Jorong Subarang benar-benar  dilakukan dengan mencari kayu dan mengapiang kayu (membelah kayu) menggunakan kapak di depan rumah duka. Kayu yang di kapiang tersebut dipergunakan untuk tempat duduk laki-laki. Kemudian setelah proses bekayu selesai kayu tersebut digunkan oleh tuan rumah untuk memasak.

Perkembangan Jaman Mempengaruhi Tata Caranya


Seiring perkembangan zaman, proses bakayu di Jorong Subarang mulai  berubah. Yang dahulu nya mangapiang kayu, sekarang hanya mendatangi rumah duka dan duduk di atas lapiak (terpal) yang disediakan oleh tuan rumah di halaman rumah. Masyarakat laki-laki datang ke rumah duka pada pagi hari dengan duduk di atas terpal yang di tengah-tengah nya diletakkan sebuah carano yang ditutupi dengan saok aia. 





Carano tersebut digunakan untuk meletakkan uang duka yang diberikan oleh pelayat laki-laki. Guna saok aia yaitu untuk menutupi agar tidak terjadi cemeeh ketika memasukkan uang kedalam carano. Uang tersebut diperuntukkan untuk meringankan beban keluarga duka.


Ketika laki-laki duduk di atas lapiak (terpal), orang yang di tuakan dalam persukuan (bagala datuak) menyampaikan petatah petitih dihadapan masyarat. Petatah petitih tersebut berisi nasihat bagi orang banyak. Petatah petitih tersebut juga memberikan ketenangan kepada keluarga duka (dalam istilah minang di sebut sitawa sidingin). Akhirmya dari proses bakayu adalah pihak sumando atau tamu lak-laki menyiriah rokok (memberikan rokok) kepada mamak rumah (keluarga duka yang laki-laki).


Berbeda dengan salah satu nagari yang berada di Kecamatan Batipuh, yaitu Nagari Pitalah. Masyarakat Nagari Pitalah masih bakayu dengan mangapiang kayu ketika sehari setelah kematian.


Selain itu, ada tradisi mangampiang yang merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat perempuan di Jorong Subarang. Waktu mangampiang bersamaan dengan waktu bakayu. Ketika mangampiang ada beberapa ibu-ibu atau perempuan yang menumbuk lesung untuk menumbuk beras ampiang. Ampiang tersebut dimakan oleh anak-anak sekitar. 




Ketika mangampiang ada beberapa masyarakat yang langsung membawa beras, ada juga yang membawa beras ketika mendoa manujuah hari (mendoa 7 hari kematian). Masyarakat yang sepesukuan dengan keluarga duka (satu suku) membawa beras menggunakan kampia (tas yang terbuat dari bambu). Sedangkan masyarakat yang berbeda suku membawa beras menggunakan bangkiah.

Dari pandangan peneliti kebanyakan saat ini para pelaku takziah bakayu dan mangampiang ini tidak memahami betul seperti apa makna dan tujuan tradisi bakayu dan mangampiang tersebut. Pada tradisi bakayu ini terdapat berbagai simbol-simbol yang mempunyai makna tertentu. Sistem simbol dan makna tersebut kemudian diaplikasikan melalui interaksi simbolik.

 



Dimana proses interaksi simbolik tersebut melibatkan interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Manusia dalam interaksi simbolik menggunakan simbol-simbol untuk mempresentasikan apa yang dimaksud kepada sesamanya dan berpengaruh pula terhadap penafsiran simbol-simbol dalam interaksi sosial (Mulyana, 2010:71).

 

Beberapa gambaran mengenai simbol yang peneliti lihat saat observasi adalah manyiriah rokok (memberikan rokok) dari masyarakat pihak laki-laki dan diberikan kepada anak atau ahli waris yang telah meninggal. Yang mana membawa dan memberikan rokok adalah suatu keharusan, baik yang merokok ataupun yang tidak merokok.

 


Dan masyarakat yang datang menggunakan kopiah (peci nasional) dan sarung yang berwarna gelap, sarung tersebut disandang dibahu atau di pegang saja. Berhubung saat ini masyarakat sudah jarang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak dikarenakan kemajuan teknologi masyarakat telah menggunakan kompor gas.

 

Maka tradisi Bakayu dan Mangampiang jarang dilakukan lagi dan hanya di praktekkan pada rumah orang yang tidak menggunakan kompor gas saja, dan kegiatan Bakayu dan Mangampiang cukup dengan kegiatan manyiriah saja.


Historis Bakayu dan Mangampiang


Bakayu 


Bakayu adalah suatu kegiatan mengambil kayu ke hutan yang dilakukan oleh pelayat laki-laki yang “mudo matah” (orang yang tidak bergelar Datuak) dengan membawa kampak masing-masing. Tujuan mengambil kayu ke hutan ialah untuk meringankan beban pihak yang berduka dalam memenuhi kebutuhan dapurnya untuk acara “manujuah hari” (mendoa setelah tujuh hari mayat meninggal) nantinya. 


Waktu pelaksanaan tradisi bakayu dan mangampiang dilakukan pada hari pertama setelah mayat dikuburkan, biasanya dimulai pada pukul 06.30 WIB. Tradisi ini diawali dengan kegiatan membelah kayu bagi yang masih menggunakan kayu untuk memasak, selanjutnya diisi dengan kegiatan duduk bersama-sama di halaman rumah orang yang meninggal atau salah seorang kerabatnya. 


Pelaksanaan tradisi bakayu biasanya dimulai dengan ucapan permintaan maaf dari Datuak (pimpinan suku keluarga yang meninggal) kepada pelayat yang hadir. Setelah itu dilanjutkan dengan kato pasambahan dari sipangka (tuan rumah) ke pelayat yang hadir. Kemudian para pelayat yang datang akan manyiriah rokok (memberi rokok) kepada sipangka sebagai akhir dari upacara bakayu. Rokok yang diberikan biasanya diletakkan di dalam piring atau gelas.

 

Mangampiang 


Sedangkan Mangampiang adalah suatu kegiatan dimana pihak perempuan datang takziah ke rumah duka dengan menggunakan baju kuruang basiba dan kain saruang yang dipasang pada pundaknya. Dalam pelaksanaannya, mereka membawa beras sebanyak 2L (liter) yang dibawa dengan kampie (tas rajut dari daun enau) yang diberikan kepada keluarga yang ditinggalkan. 




Hal ini sebagai salah satu cara meringankan beban yang dirasakan oleh pihak keluarga. Tetapi tidak semua pelayat tersebut membawa beras menggunakan kampie, namun ada juga yang menggunakan bangkiah (wadah seperti ember terbuat dari rajutan rotan). Hal ini karena ada ketentuan adat yang mengatur jika pelayat memiliki hubungan darah atau sasuku dengan keluarga yang meninggal maka mereka harus membawa ketan dan kelapa dengan menggunakan bangkiah yang ditutup dengan daun lamak (kain khusus penutup wadah tersebut). 


Setelah memberikan beras tersebut ada suatu prosesi lain dari tradisi mangampiang ini dimana para pelayat perempuan pergi ke lasuang (lesung) yang ada di halaman rumah untuk menumbuk ampiang (beras ketan), sembari mereka menunggu untuk masuk ke rumah dan menunggu kampie/bangkiah yang mereka bawa dikembalikan setelah isinya disalin, sebagai tanda kedatangan para pelayat tersebut.

 

Aspek Fisik Tradisi Bakayu Dan Mangampiang
 

Aspek fisik merupakan objek yang dapat terlihat secara fisik yang dapat berupa benda. Objek fisik dalam Bakayu dan Mangampiang meliputi benda-benda perlengkapan Bakayu dan Mangampiang. Hal tersebut merupakan komponen fisik yang penting dalam Bakayu dan Mangampiang di Nagari Batipuah Ateh Kecamatan Batipuah Kabupaten Tanah Datar. 


Semua objek fisik merupakan simbol-simbol yang terhubung langsung dengan pelaku Bakayu dan Mangampiang. Simbol dan makna dari benda-benda perlengkapan Bakayu dan Mangampiang dapat dideskripsikan sebagai berikut : Carano, Carano adalah benda yang berbentuk dulang berkaki dari kuningan. 




Keberadaan carano memiliki makna khusus dalam upacara adat, baik dari segi keindahan bentuk maupun motif-motif ukirannya. Sejak dahulu hingga sekarang bentuk carano tidak pernah berubah dan begitu juga dengan motif-motif stilasi flora dan fauna serta ukiran-ukiran yang sama, seperti ukiran pada rumah gadang. 


Pemakaian carano berfungsi sebagai lambang persembahan untuk memberikan kehormatan kepada pelaku Bakayu dan sebagai alat komunikasi dengan tamu-tamu yang datang dalam upacara adat kematian. 


Dulamak

Dulamak merupakan bagian dari kelengkapan carano. Dulamak berbentuk kain segiempat yang berbahan dasar beludru, dihiasi dengan cermin bulat yang ditempel dipermukaan kain tersebut. Dulamak berfungsi sebagai kain penutup carano. Sebagai sebuah kelengkapan carano, dulamak juga memiliki makna estetis. 


Dulamak merupakan simbol dari perwujudan kehalusan budi dalam berkomunikasi, bahwa sesuatu yang penting dan rahasia dalam berbagai masalah hendaklah ditutup agar tidak mendatangkan hal-hal yang merugikan dan terlalu berlebihan. 


Kampia

Kampia adalah tas rajut yang terbuat dari daun anau. Kampia memiliki banyak fungsi sesuai dengan jenis upacara adat yang dilaksanakan, yaitu sebagai wadah untuk membawa peralatan upacara adat, seperti siriah, pinang, sadah, gambir, tembakau, beras, labo dan lainlain. Dalam upacara adat kematian kampia digunakan untuk membawa beras bagi kaum perempuan yang datang untuk melaksanakan prosesi Mangampiang ke rumah duka. Orang yang membawa beras menggunakan kampia dalam prosesi Mangampiang merupakan masyarakat biasa yang bukan kerabat keluarga yang berduka. 


Bangkiah

Bangkiah merupakan anyaman dari rotan yang berbentuk seperti ember. Sama halnya dengan kampia, bangkiah juga memiliki banyak fungsi sesuai dengan jenis upacara adat yang dilaksanakan. Dalam upacara adat kematian fungsi bangkiah sama dengan kampia yaitu sebagai wadah untuk membawa beras ke rumah duka, namun di dalam bangkiah tidak hanya berisi beras tapi juga berisi kelapa tua. Masyarakat yang datang ke rumah duka membawa beras dengan menggunakan bangkiah, maka mereka merupakan kerabat dekat yang memiliki hubungan tali darah dengan pihak yang berduka. 




Lasuang dan Alu

Lasuang (Lesung) dan alu adalah alat tradisional yang digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk pengolahan padi.


Lasuang berbentuk wadah cekung, biasanya terbuat dari kayu besar yang dibuang bagian dalamnya sehingga terbentuk cekungan, namun ada juga yang terbuat dari batu. Sedangkan alu adalah tongkat tebal yang terbuat dari batang kayu. Dalam upacara adat kematian, lasuang dan alu digunakan untuk menumbuk beras ketan (Mangampiang). Beras ketan dimasukkan kedalam lubang lasuang dan ditumbuk berulang-ulang dengan alu, kegiatan ini dilakukan secara bergantian oleh kaum perempuan yang datang kerumah duka. 


Hal ini memperlihatkan bahwa setiap kaum perempuan yang datang ke rumah duka menunjukkan rasa simpati dan empati kepada keluarga yang berduka. Rokok, dalam kegiatan Bakayu dan Mangampiang rokok memiliki fungsi sebagai alat komunikasi masyarakat Minangkabau. Rokok wajib digunakan pada upacara Bakayu yang disebut dengan kegiatan manyiriah rokok yaitu sebuah tradisi adat yang dijadikan sebagai bentuk bertakziah ke rumah duka bagi kaum lakilaki. Tujuannya sebagai ungkapan turut berduka dan memperlihatkan diri atas kedatangannya. 


Pakaian

Pakaian yang digunakan dalam tradisi Bakayu dan Mangampiang merupakan pakaian yang sopan dan berdasarkan syari’at Islam sesuai dengan falsafah budaya Minangkabau yang dikenal dengan ungkapan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Untuk para pemuka adat seperti pangulu pucuak dan pangulu andiko mereka memiliki pakaian tambahan yaitu jas, sebagai bentuk pembeda dalam prosesi tradisi Bakayu dan Mangampiang. Pada dahulunya saat prosesi tradisi Bakayu dan Mangampiang para pelaku harus menggunakan pakaian adat Minangkabau.

 

Aspek Sosial Bakayu dan Mangampiang

 

Aspek sosial adalah perilaku serta tindakan yang dilakukan orang untuk memberi arti dalam berkomunikasi dengan orang lain. Minta Karilaan (Permintaaan Maaf), Pada pelaksanaan bakayu di halaman rumah seseorang pihak yang berduka biasanya oleh datuk/kepala dari suku yang berduka, beliau menyampaikan permintaan maaf yang disampaikan kepada orang yang datang/pelaku bakayu. Sambah Kato (pasambahan, Sambah kato (pasambahan) adalah salah satu jenis sastra lisan Minangkabau. 




Sastra lisan ini digunakan oleh masyarakat Minangkabau dakam acara perkawinan, kematian dan acara adat lainnya. Pasambahan menggunakan bahasa yang halus dan sangat puitis yang berbeda dengan bahasa sehari-hari masyarakat Minangkabau. Kepuitisan itu ditandai oleh banyaknya ungkapan, kiasan, serta susunan kalimat yang teratur sehinggaa bila diucapkan terdengar berirama dan merdu. 


Nilai-Nilai Dalam Tradisi Bakayu dan Mangampiang Nilai-Nilai Agama Dalam pepatah Minangkabau mengatakan adat basandi syarak syarak basandi kitabullah, yang artinya adat yang didasarkan/ditopang oleh syariat agama Islam yang syariat tersebut berdasarkan pula pada Al-Qur’an dan Hadist (Latief, 2002:27). Dalam hal ini bakayu dan mangampiang adalah suatu adat istiadat di Nagari Batipuah Ateh yang harus dilaksanakan karena membantu sesama anggota masyarakat adalah suatu bentuk solidaritas dalam menghadapi musibah.

 

Nilai-Nilai Sosial Pelaksanaan upacara adat merupakan salah satu kesempatan berkumpulnya anggota kerabat keluarga maupun masyarakat setempat. Berkumpulnya kerabat dan masyarakat dapat menjalin silaturrahmi. Tradisi Bakayu dan Mangampiang merupakan salah satu upacara adat kematian sehingga pelaksanaannya dapat menciptakan dan menjalin silaturrahmi bagi para tokoh dan pelakunya serta seluruh lapisan sosial masyarakat setempat yang ikut serta melaksanakannya. (*)


Dihimpun dari berbagai sumber 



Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Mengulas Tradisi Bakayu dan Mangampiang di Nagari Batipuh

Iklan