Iklan

Surat Terakhir Warren Buffett: Ketika “Orang Bijak dari Omaha” Menulis Tentang Hidup, Waktu, dan Keberuntungan

11 November 2025, 09:26 WIB


Suluah.id - Suatu hari di awal November 2025, dunia investasi sejenak berhenti.
Warren Buffett — sosok yang selama puluhan tahun menjadi guru bagi para investor — menulis surat yang terasa seperti salam perpisahan.

Surat itu bukan sekadar laporan tahunan biasa. Nada tulisannya lembut, reflektif, bahkan melankolis.

Ia membuka dengan pengumuman penting: mengonversi 1.800 lembar saham A Berkshire Hathaway menjadi 2,7 juta saham B untuk disumbangkan kepada empat yayasan keluarga — Susan Thompson Buffett Foundation, Sherwood Foundation, Howard G. Buffett Foundation, dan NoVo Foundation.

Lalu, kalimat-kalimat berikutnya berubah nada.

Tidak lagi seperti pengusaha yang bicara angka dan laba, tapi seperti seorang kakek yang sedang menulis surat panjang untuk cucunya — penuh kenangan, pelajaran, dan kejujuran yang menenangkan.

Dari Omaha, dengan Cinta dan Humor


Buffett menulis tentang masa kecilnya di Omaha tahun 1930-an.
Tentang malam ketika ia nyaris mati karena usus buntu, diselamatkan oleh dokter keluarga bernama Harley Hotz yang memaksanya operasi darurat di tengah malam.

Ia dirawat di rumah sakit Katolik meski ia seorang anak Protestan.

Di sana, dengan rasa ingin tahu khas anak kecil, ia mengambil sidik jari para biarawati — katanya, “untuk membantu FBI suatu hari nanti jika ada biarawati yang menyimpang.”

Humor kecil itu membuat pembaca tersenyum. Tapi di baliknya, ada potret kepribadian yang tak berubah: rasa ingin tahu yang besar, spontanitas, dan pandangan hidup yang ringan.




Buffett sejak kecil memang begitu — jujur, penasaran, dan aneh dengan cara yang menyenangkan.

Ia kemudian mengenang rekan-rekan yang juga berasal dari Omaha — Charlie Munger, sahabat sejatinya selama 64 tahun; Stan Lipsey yang menjual Omaha Sun ke Berkshire; Walter Scott dari MidAmerican Energy; hingga Don Keough, mantan presiden Coca-Cola yang terkenal karena berani mengakui kesalahan produk New Coke.

“Semua berasal dari Omaha,” tulisnya bangga. “Budaya kerja keras dan kesederhanaan itu menular.”

Keberuntungan dan Waktu


Bagian paling menyentuh dari surat itu datang ketika Buffett bicara tentang keberuntungan — atau yang ia sebut Lady Luck.

Ia sadar betul, hidupnya adalah hasil dari undian besar yang ia menangkan sejak lahir: sehat, laki-laki, berkulit putih, dan lahir di Amerika pada 1930.

“Kalau saya lahir di tempat lain atau dalam kondisi berbeda, mungkin cerita hidup saya tak akan sama,” tulisnya jujur.

Ia tak berusaha tampak heroik. Ia hanya ingin mengakui bahwa hidupnya penuh keberuntungan — dan bahwa banyak orang tidak seberuntung dirinya.

Lalu datang refleksi tentang waktu, tentang “Father Time” yang tak pernah kalah.

Di usia 95 tahun, ia masih datang ke kantor lima hari seminggu, meski penglihatan mulai buram dan hafalan tak setajam dulu.
Namun, katanya, “Setiap hari di kantor masih terasa menyenangkan. Saya masih belajar, walau lebih lambat.”

Ada kehangatan dalam kalimat itu — seperti seseorang yang berdamai dengan ketuaan, bukan menyesalinya.

Tentang Anak, Warisan, dan Tanggung Jawab


Buffett menulis tentang tiga anaknya yang kini sudah berumur di atas 67 tahun.
Ia memutuskan mempercepat donasi sahamnya semasa hidup, agar mereka bisa langsung mengelola dan belajar bertanggung jawab atas warisan keluarga.

“Saya tidak ingin mengatur dari dalam kubur,” tulisnya ringan, tapi tegas.

Ia percaya anak-anaknya sudah cukup bijak. Ia hanya ingin memberi mereka ruang untuk berbuat baik selagi ia masih bisa menyaksikannya.

Bagi Buffett, warisan bukan soal uang — tapi soal nilai. Tentang bagaimana menggunakan kekayaan untuk kebaikan.

Ia juga berbicara tentang Greg Abel, penerusnya di Berkshire.

“Greg lebih memahami bisnis ini daripada saya sekarang,” kata Buffett, menegaskan kepercayaannya.

Ia memuji Abel bukan karena ambisi, tapi karena kesetiaan dan integritas — dua hal yang selalu menjadi fondasi Berkshire Hathaway.

Cermin Dunia Korporasi


Buffett tak lupa menyentil dunia yang membesarkannya: korporasi Amerika.
Ia menulis tentang para CEO yang sudah kehilangan kemampuan tapi enggan mundur, dan dewan direksi yang terlalu sungkan mengambil keputusan sulit.

Ia menyoroti juga soal kesenjangan gaji yang makin lebar — bagaimana niat baik mengungkap rasio gaji CEO dan karyawan justru memicu kompetisi ego.

“Para CEO berlomba menaikkan gaji, bukan menurunkannya,” tulisnya getir.




Ia mengaku bahwa rasa iri dan keserakahan sering berjalan bersama.

Kalimat yang sederhana, tapi begitu jujur dari seorang miliarder yang justru menertawakan keserakahan itu sendiri.

Tentang Berkshire, Tentang Amerika


Buffett realistis: Berkshire terlalu besar untuk tumbuh cepat seperti dulu.
Namun, ia yakin perusahaan itu tetap punya prospek di atas rata-rata.

“Berkshire mungkin tak lagi berlari, tapi ia masih bisa berjalan dengan kepala tegak,” kira-kira begitu maknanya.

Ia juga mengingatkan para investor bahwa harga saham bisa jatuh 50 persen kapan saja, seperti yang sudah tiga kali terjadi dalam enam dekade.

Namun ia menenangkan: “Amerika selalu bangkit lagi. Begitu juga Berkshire.”

Optimismenya tetap hidup, meski tubuhnya menua.

Ia seperti ingin bilang: bukan perusahaan atau saham yang penting, tapi semangat yang membuat orang terus percaya pada masa depan.

Pesan untuk Hidup: Jangan Menyesal, Lanjutkan Saja


Di akhir surat, Buffett berbicara bukan lagi sebagai pebisnis, tapi sebagai manusia.
Ia bilang paruh kedua hidupnya terasa jauh lebih baik dari paruh pertama — karena ia belajar untuk tidak menyesali masa lalu.

“Kesalahan hanya perlu sedikit dipelajari, lalu lanjut berjalan,” katanya.

Ia menasihati agar kita memilih panutan yang benar, dan menjalani hidup seperti obituari yang kita ingin orang lain tulis tentang kita.

“Besar itu bukan karena uang, jabatan, atau ketenaran,” tulisnya,

“tetapi karena kebaikan kecil yang kita berikan kepada orang lain.”

Ia menutup dengan kalimat yang membuat banyak orang tersenyum:
Selamat Thanksgiving untuk semua orang. Ya, bahkan untuk orang-orang yang menyebalkan. Belum terlambat untuk berubah.”

Refleksi yang Lebih Luas


Membaca surat itu, terasa seolah Buffett sedang berbicara kepada siapa pun yang menua, kepada siapa pun yang pernah menyesal, atau kepada siapa pun yang sedang menata ulang makna hidupnya.

Ia tidak menasihati dengan nada tinggi. Ia hanya menunjukkan: hidup yang baik bukan soal banyaknya angka, tapi tentang cara kita memberi arti — dengan ketulusan, kesabaran, dan rasa humor yang tak pernah hilang.

Mungkin itulah yang membuat Warren Buffett tetap abadi.

Karena bahkan di akhir bab panjang hidupnya, ia masih mengajarkan kita cara menjadi manusia yang utuh.
(*)
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Surat Terakhir Warren Buffett: Ketika “Orang Bijak dari Omaha” Menulis Tentang Hidup, Waktu, dan Keberuntungan

Iklan