Iklan

7 Dosa Psikologis Trader Saham: Mengapa Banyak yang Boncos Meski Sudah Belajar Analisis?

08 Mei 2025, 11:29 WIB



Suluah.id - Pernah merasa sudah belajar analisis teknikal dan fundamental dengan serius, tapi portofolio tetap memerah? Atau mungkin Anda sudah mengikuti banyak seminar trading, tapi hasilnya belum seperti yang diharapkan? Bisa jadi jawabannya bukan soal ilmunya, tapi karena “dosa psikologis” yang tanpa sadar Anda lakukan saat mengambil keputusan investasi.

Dalam dunia pasar modal, behavioral finance atau keuangan perilaku kini makin mendapat sorotan. Cabang ilmu ini mengkaji bagaimana psikologi manusia memengaruhi keputusan finansial. 

Salah satu karya menarik datang dari Hilton (2001), yang merumuskan “7 Deadly Sins of Financial Decision Making”—tujuh kesalahan fatal dalam pengambilan keputusan keuangan.

Mari kita bahas satu per satu, dengan contoh nyata dan panduan agar kita tidak terjebak dalam dosa-dosa ini.

1. Bias Konfirmasi: Hanya Percaya pada Berita yang Mendukung Opini Sendiri

Banyak trader hanya mencari informasi yang mendukung pandangannya, dan menolak yang bertentangan. Misalnya, saat mereka sudah yakin saham NINE akan naik, mereka hanya mengunggah berita yang positif dan mengabaikan risiko yang ada.

Contoh nyata: Di media sosial saham, kita sering lihat trader memajang cuplikan berita untuk menjustifikasi posisi mereka. Padahal, media bukan indikator arah pasar. Media punya agenda, dan pasar punya logika sendiri.

Tips: Jadilah skeptis. Cek berita dari berbagai sisi. Jangan hanya membaca headline—baca juga laporan keuangan dan aksi korporasi.

2. Bias Optimisme dan Ilusi Kendali: Merasa Lebih Hebat dari Pasar

Optimisme bisa jadi kekuatan. Tapi terlalu optimis, ditambah keyakinan bahwa pasar bisa dikendalikan lewat coretan indikator di chart, justru bisa menyesatkan.

Studi menarik: Pria lebih sering melakukan trading dibandingkan wanita, dan lebih banyak mengalami kerugian (Barber & Odean, 2001). Optimisme membuat mereka overtrade.

Tips: Evaluasi diri secara objektif. Jangan trading hanya karena percaya “feeling bagus”. Ingat: pasar tidak bisa dikendalikan, yang bisa dikontrol hanya keputusan kita.

3. Terlalu Percaya Diri: Prediksi yang Gagal Tapi Tetap Ngotot

Penelitian oleh The Economist pada 1984 menunjukkan prediksi ekonomi paling akurat justru datang dari tukang sampah, bukan dari pejabat tinggi. Artinya, jabatan atau pengetahuan tak menjamin ketepatan prediksi.

Analoginya: Seperti supir ojol yang sudah hafal jalanan, kadang justru lebih paham kondisi lapangan dibandingkan perencana kota.

Tips: Kurangi rasa "paling tahu". Tanyakan kembali asumsi yang kita buat. Kadang lebih baik mengakui ketidaktahuan daripada membuat keputusan gegabah.

4. Mengabaikan Korelasi Tersembunyi: Jebakan yang Tidak Terlihat

Trader sering hanya melihat hubungan yang tampak, seperti harga emas dan saham tambang. Tapi banyak korelasi tersembunyi yang jauh lebih signifikan.

Contoh: Saham ALTO pernah anjlok drastis karena pemiliknya tersangkut kasus hukum—berita yang sebenarnya bisa ditemukan jika lebih jeli membaca laporan keuangan dan berita hukum.

Tips: Jangan malas riset. Selalu lihat siapa di balik emiten, bukan cuma grafiknya. Kadang korelasi bukan soal angka, tapi siapa pemainnya.

5. Efek Disposisi dan Penghindaran Risiko: Salah Pilih Waktu Jual

Trader lebih suka menjual saham yang untung sedikit daripada menahan saham yang rugi besar—ini namanya disposition effect. Padahal logikanya harus sebaliknya: potong rugi, biarkan untung berkembang.

Contoh klasik: Banyak trader cepat ambil profit di GOTO waktu naik 10%, tapi tahan terus saham rugi karena “sayang”.

Tips: Reframe pola pikir. Tanya: “Kalau saya belum punya saham ini, apakah saya akan beli sekarang?” Kalau jawabannya tidak, artinya sudah waktunya dijual.

6. Kekakuan Mental: Ikut Panik Saat Pasar Goyang

Pasar seringkali menjadi cermin dari groupthink—ketika satu berita buruk keluar, semua ikut jual tanpa pikir panjang.

Ilustrasi: Seperti kerumunan yang panik saat terdengar suara ledakan, padahal belum jelas sumbernya dari mana. Hasilnya: harga saham anjlok bukan karena fundamental, tapi karena kepanikan massal.
Tips: Jangan ikut panik. Cek kondisi emiten, bukan hanya harga. Reaksi pasar tidak selalu rasional.

7. Bias Akuntansi Mental: Salah Membaca Sudut Pandang

Trader sering mengacaukan perspektif antara jangka pendek dan panjang. Day trader memaksakan strategi jangka pendek pada saham jangka panjang, dan sebaliknya.

Contoh: Reversal dalam 5 menit bisa saja hanya noise dalam tren sideways selama berbulan-bulan—seperti yang sering terjadi di saham GOTO.

Tips: Selalu pastikan strategi Anda sesuai horizon investasi. Jangan pakai kacamata trader untuk investasi jangka panjang, dan sebaliknya.

Pasar Tak Hanya Tentang Angka, Tapi Juga Psikologi
Banyak trader gagal bukan karena bodoh, tapi karena tidak sadar mereka sedang dikendalikan oleh bias-bias psikologis. Belajar analisis teknikal dan fundamental memang penting. Tapi menguasai psikologi trading jauh lebih penting jika ingin bertahan dalam jangka panjang.(*) 
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • 7 Dosa Psikologis Trader Saham: Mengapa Banyak yang Boncos Meski Sudah Belajar Analisis?

Iklan