"Di dunia ini, ada dokter yang merawat tubuh. Tapi ada juga yang sekaligus menjahit luka kemanusiaan."— (catatan di dinding RS Indonesia, Gaza)
Suluah.id - “Dok, apa aku akan mati?”
Suatu hari, seorang bocah lelaki datang dengan tubuh penuh luka ke ruang operasi RS Indonesia di Gaza. Serpihan logam tertanam di perutnya, matanya basah oleh rasa sakit dan ketakutan.
Di tengah hiruk-pikuk sirine dan dentuman bom, ia bertanya lirih:
“Dok, apa aku akan mati?”
Dokter itu tersenyum lembut. “Tidak, nak. Kau hanya akan pindah kamar. Ke bangsal tanpa rasa sakit di rumah sakit milik Allah.”
Dokter itu tersenyum lembut. “Tidak, nak. Kau hanya akan pindah kamar. Ke bangsal tanpa rasa sakit di rumah sakit milik Allah.”
Itu adalah jawaban terakhir dari Dr. Marwan Sultan, Direktur Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Gaza, sebelum tubuhnya menyatu dengan reruntuhan, usai sebuah serangan udara Israel menghantam rumahnya.
Ia gugur dalam masa perjuangan, bukan sekadar sebagai dokter, tetapi sebagai penjaga terakhir peradaban di tanah yang terus terbakar oleh perang.
Direktur Rumah Sakit (RS) Indonesia di Gaza, Dr Marwan Al-Sultan, telah meninggal bersama keluarganya setelah apartemen tempat mereka tinggal diserang pasukan Israel.
Pejabat medis Gaza mengatakan dokter Marwan meninggal bersama istri, anak perempuan, dan saudara perempuannya, akibat serangan militer Israel di apartemen mereka.
Perjalanan Seorang Dokter di Medan Perang
Tapi takdir, atau mungkin nurani, membawanya ke tempat paling berat dan berbahaya di peta dunia: Gaza.
Di sana, bukan gelar akademik yang ia kejar, tetapi kehormatan tertinggi: menjadi Dokter Darurat Medan Perang.
Ia tidak sekadar menjahit luka di tubuh, tapi juga luka di jiwa ribuan warga Gaza—yang hidup dalam kondisi blokade sejak 2007, tanpa listrik, air bersih, dan akses kesehatan memadai.
RS Indonesia: Rumah Sakit yang Bertahan di Bawah Bom
Diresmikan pada 2016, RSI menjadi salah satu fasilitas medis andalan di Gaza, terutama ketika rumah sakit lain kewalahan menghadapi korban perang.
Namun rumah sakit ini tidak kebal terhadap serangan. Fasilitas yang seharusnya steril dari konflik, bolong-bolong dihantam rudal.
Tapi bagi Dr. Marwan dan timnya, ruang operasi adalah front terakhir: tempat mereka menyelamatkan nyawa sambil bersiap kehilangan nyawa mereka sendiri.
“Kami menjahit luka Gaza dengan benang doa, dan membius rasa sakitnya dengan iman,” ucapnya dalam sebuah wawancara.
Syahidnya Seorang Dokter
Organisasi kemanusiaan dunia mengecam serangan terhadap fasilitas medis. Médecins Sans Frontières (MSF) menyebut pengeboman rumah sakit sebagai pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional.
Dan kini warga Gaza, kehilangan Dr. Marwan lebih dari sekadar kehilangan dokter. Ia adalah simbol harapan, benteng terakhir kemanusiaan, dan teladan keberanian tanpa batas.
Warisan yang Lebih Abadi dari Tugu
“Teruslah membedah kebatilan sampai kalian menemukan kembali hati nurani dunia yang hilang.”
Bagi mereka yang pernah disentuh tangan hangatnya, setiap nyawa yang berhasil diselamatkan adalah prasasti.
Tidak terbuat dari marmer atau perunggu, tapi dari kenangan, air mata, dan rasa syukur yang tak akan pernah luntur.
Mengenang dan Melanjutkan Perjuangan
Dalam sabda Nabi Muhammad ﷺ, siapa yang terbunuh dalam mempertahankan hidup, harta, dan agama—ia mati sebagai syuhada. Dan Dr. Marwan, tampaknya, telah memenuhi semua itu.
“Bahwa matiku di antara lembaran catatan perjuangan, lebih kusukai daripada mati di tempat tidurku.”
– Umar bin Khattab رضي الله عنه
RS Indonesia di Gaza dan Peran Indonesia
RS Indonesia di Gaza dibangun sejak 2011 oleh MER-C Indonesia dan selesai pada 2016. Berkapasitas 100 tempat tidur, dilengkapi ruang ICU, UGD, dan ruang operasi, rumah sakit ini menjadi simbol diplomasi kemanusiaan Indonesia di Timur Tengah.
Dr. Marwan Sultan adalah salah satu dokter lokal Palestina yang kemudian diangkat menjadi Direktur RSI karena dedikasi dan kecakapannya dalam kondisi darurat.
Hingga 2024, lebih dari 20.000 warga Gaza tewas akibat agresi militer Israel. Ribuan di antaranya adalah anak-anak dan perempuan. Rumah sakit seperti RSI menjadi pelindung terakhir bagi korban sipil.
Nama yang Tak Akan Pernah Hilang
Ia adalah bukti nyata bahwa bahkan di tengah neraka perang, masih ada yang memilih untuk hidup sebagai cahaya.Mari sebarkan kebenaran ke seluruh penjuru.
Karena seperti kata Iqbal:
"Tanda mukmin sejati, dalam setiap keadaan, selalu setia pada kebenaran."
"Tanda mukmin sejati, dalam setiap keadaan, selalu setia pada kebenaran."
(Sani Tsaka)